Sesuai dengan PER-32/PJ./2009 jo. SE-62/PJ/2009, disebutkan bahwa:
"Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala yang telah dipotong Pajak penghasilan Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, maka Pemotong Pajak harus melakukan pembetulan atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sampai dengan Masa Pajak di mana pegawai tetap atau penerima pensiun berkala tersebut memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak."
Wah.. kalo gitu sih bisa pembetulan tiap bulan?? masa sih harus begitu?? Menurut penulis, ketentuan tersebut bertolak belakang dengan UU PPh. Di Pasal 21 UU PPh kan udah jelas kalau enggak punya NPWP dikenai tarif 20% lebih tinggi. Oleh karena itu, pada saat memotong PPh 21 jika si pegawai belum ber-NPWP perusahaan akan memotong PPh 21 dengan tarif 20% lebih tinggi. Dalam pelaporannya pun pemotong pajak (perusahaan) juga harus melaporkan pajak yang dipotongnya sebesar 20% lebih tinggi. Di sini SPT sudah benar.
Dengan pegawai ber-NPWP di tengah tahun, maka si pegawai akan dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif normal. Nah, sesuai dengan PMK-252/PMK.03/2008 jo. PER-31/PJ./2009, pemotongan pajak 20% lebih tinggi atas penghasilan si pegawai sebelum ber-NPWP boleh diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 setelah si pegawai ber-NPWP.
Menurut penulis, untuk memerhitungkan tarif 20% lebih tinggi tersebut semestinya tidak perlu melalui pembetulan. Pembetulan sejatinya dilakukan bila SPT-nya salah, dalam hal ini SPT tidak salah (pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih tinggi sudah sesuai UU PPh).
Adanya aturan pembetulan tersebut tentu akan merepotkan pemotong pajak. bisa-bisa tiap bulan pembetulan terus.... :-p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar